Kepercayaan, Visi yang Bergeser, dan Nilai Kesepakatan: Pelajaran dari Seorang Developer

Saya menulis ini sebagai pengingat untuk diri sendiri, sekaligus untuk siapa pun yang pernah atau akan berada di persimpangan antara kepercayaan dan kepastian hukum. Beberapa waktu lalu saya ditawari peran sebagai co-founder, tepatnya di jalur CTO. Saya percaya pada orang yang mengajak, saya percaya pada idenya, dan lebih dari itu, saya percaya pada kemampuan saya sendiri untuk membangun perangkat lunak yang dibutuhkan. Karena percaya, saya tidak menandatangani apa pun di awal. Tidak ada NDA, tidak ada kontrak jasa, tidak ada founders’ agreement. Rasanya mulia, rasanya lebih manusiawi. Kita jalan dulu, nanti urusan kertas menyusul, begitu kira-kira semangatnya.
Pada tahap awal, semuanya tampak mudah: kita berdiskusi semalaman, menyusun roadmap kasar, dan saya mulai menulis kode. Repositori dibuat, arsitektur dipecah, endpoint disusun, tampilan diikat. Saya memegang banyak peran sekaligus: perancang arsitektur, kontributor kode, penjaga standar teknik, bahkan sesekali jadi product manager dadakan. Karena belum ada dokumen apa pun, keputusan teknis saya ambil berdasarkan intuisi dan percakapan. Saya menaruh kepercayaan penuh bahwa kontribusi ini akan dihargai sebagaimana mestinya ketika waktunya tiba.
Seiring waktu, produk mulai menemukan bentuknya. Fitur-fitur kunci berhasil saya bangun, beberapa iterasi berjalan cepat, demo ke calon pengguna pun mulai dilakukan. Di titik ini, ketegangan kecil mulai terasa. Bukan karena orangnya berubah menjadi buruk, melainkan karena visi kami diam-diam bergeser. Awalnya kami berbicara tentang produk yang ramping, fokus pada satu masalah inti, dan tumbuh organik. Lalu, ketika beberapa peluang bisnis datang, fokus mulai melebar; ada dorongan untuk menambah fitur A dan integrasi B, untuk menjangkau segmen C, menutup deal D. Itu normal dalam bisnis. Yang tidak normal adalah ketika perubahan visi itu tidak diiringi dengan kesepakatan baru tentang peran, prioritas, hak, dan kewajiban.
Pada satu momen, saya tersadar bahwa kami belum pernah benar-benar menyepakati hal-hal dasar: kalau produk ini berhasil, siapa memiliki berapa? Kalau saya sudah membangun pondasinya, apa status hak cipta kode yang sudah ada? Jika besok perlu merekrut tim, siapa yang punya hak memutuskan? Kalau ada perbedaan pendapat strategis, bagaimana cara mengikat keputusan? Ketika tidak ada kerangka hukum yang jelas, pertanyaan-pertanyaan ini dibiarkan menggantung, dan hubungan yang tadinya hangat perlahan mendapat beban baru. Bukan karena salah satu pihak berniat buruk, melainkan karena ketidakjelasan menciptakan ruang tafsir yang berbeda-beda.
Visi yang berubah sendiri bukan masalah; produk yang hidup memang harus lincah. Masalahnya muncul ketika perubahan visi itu menuntut perubahan komitmen dari setiap orang, sementara kesepakatan dasar tidak pernah ditulis. Di titik itulah saya benar-benar mengerti: kepercayaan bukanlah pengganti hukum; kepercayaan justru memerlukan hukum agar dapat bertahan. Dokumen tidak dibuat untuk menggantikan salaman, melainkan untuk menjaga makna salaman itu di saat keadaan berubah, ketika uang mulai masuk, ketika target meleset, ketika tekanan eksternal datang, atau ketika masing-masing melihat peta masa depan yang sedikit berbeda.
Kalau saya memutar waktu, ada beberapa hal yang akan saya lakukan lebih cepat. Saya akan memulai dengan selembar nota kesepahaman sederhana yang menjawab pertanyaan-pertanyaan paling mendasar: apa peran saya hari ini, apa wewenang saya besok, bagaimana keputusan diambil, dan bagaimana menghargai kontribusi. Saya akan menuliskan dengan terang bahwa semua kode yang saya tulis untuk proyek ini menjadi milik perusahaan, tetapi saya memperoleh kompensasi yang adil, entah itu honor, saham dengan vesting yang masuk akal, atau kombinasi keduanya. Saya akan memastikan akses ke infrastruktur, domain, dan akun-akun kritikal tidak hanya dipegang satu orang. Saya akan minta mekanisme penyelesaian konflik yang sederhana: bila ada buntu, siapa penengahnya, dan bagaimana putusannya mengikat. Semua itu bukan karena saya tidak percaya; justru karena saya ingin tetap percaya.
Saya juga belajar bahwa perbedaan visi tidak selalu perlu dipertengkarakan. Kadang kita memang sedang melihat gunung yang sama dari lereng yang berbeda. Ada yang memilih jalur panjang tapi landai, ada yang ingin menanjak tajam agar cepat sampai. Di sinilah dokumen membantu: ia memaksa kita duduk, menyepakati jalur, mengukur tenaga, dan menyiapkan bekal. Tanpa itu, masing-masing orang bergerak dengan asumsi sendiri-sendiri. Dan asumsi adalah bahan bakar salah paham.
Banyak orang takut bicara soal hukum karena khawatir akan mengurangi rasa kekeluargaan. Saya sempat berpikir begitu. Namun pengalaman mengajarkan bahwa ketegasan justru menjaga kehangatan. Menulis perjanjian bukanlah tindakan tidak percaya; itu tindakan bertanggung jawab terhadap masa depan hubungan. Hubungan yang baik bukan yang tidak pernah berbeda pendapat, melainkan yang mampu menyalurkan perbedaan secara aman. Dan kanal yang aman itu bernama kesepakatan tertulis.
Saya juga menyadari pentingnya bahasa yang jelas. Di dunia teknis, kita terbiasa berdebat tentang nama variabel dan struktur folder, tetapi untuk urusan peran, equity, dan arah produk, kita sering mengandalkan rasa. Padahal kalimat-kalimat yang presisi di dalam kontrak sederhana dapat menyelamatkan bertahun-tahun kerja. Kalimat yang menyatakan kapan vesting dimulai, apa yang terjadi jika salah satu pendiri berhenti, siapa yang memegang hak atas merek dan domain, atau bagaimana membagi pengeluaran pribadi dan kebutuhan perusahaan. Hal-hal kecil ini terasa remeh ketika hubungan sedang hangat, tapi menjadi penentu ketika cuaca berubah.
Ada pula dimensi penghargaan atas kontribusi. Pekerjaan teknis sering tidak terlihat sampai ada yang rusak. Orang melihat demo yang mulus, tetapi tidak melihat jam-jam panjang memadamkan api di balik layar. Tanpa dokumen yang mengakui kontribusi pada saat itu juga, pengakuan mudah menguap tersapu tekanan harian. Dokumen menjadi semacam memori kolektif yang adil: ia mencatat apa yang disepakati ketika semua pihak masih jernih, sebelum letih dan target mengaburkan penilaian.
Apakah semua ini berarti kita harus memulai setiap ide dengan kontrak panjang? Tidak. Saya percaya pada progresifitas. Mulailah dari yang paling ringan: satu halaman yang merangkum peran dan ekspektasi, lalu tingkatkan menjadi perjanjian yang lebih formal ketika produk mulai bernapas. Yang penting, jangan menunda hingga semuanya nanti saja. Menunda bukan membuatnya hilang, hanya menanamnya dalam-dalam agar kelak tumbuh sebagai masalah yang lebih besar.
Pada akhirnya, saya masih percaya pada orang. Saya masih percaya bahwa sebagian besar dari kita masuk ke proyek dengan niat baik. Tapi kini saya percaya pada satu hal lagi: niat baik butuh pagar. Pagar itu bernama kesepakatan. Ia tidak mengurung, ia mengarahkan. Ia tidak membatasi kepercayaan, ia melindunginya. Dan kalau satu saat visi berubah, karena pasar bergeser, karena strategi disetel ulang, atau karena kita bertumbuh ke arah yang berbeda, pagar itu juga yang memastikan kita berpisah tanpa merusak kebun.
Pelajaran ini mungkin terasa dewasa dengan cara yang tidak menyenangkan. Namun menjadi dewasa memang berarti berani menamai hal-hal yang dahulu kita biarkan samar. Menamai peran. Menamai hak. Menamai kewajiban. Menamai bahkan perpisahan, jika perlu. Bagi saya, menulis ini adalah bagian dari proses itu, mengakui bahwa hukum bukan lawan dari kepercayaan, melainkan sekutunya. Ia memelihara ruang agar orang tetap bisa percaya satu sama lain, bahkan ketika badai datang.
Saya menutup catatan ini dengan rasa terima kasih pada semua orang yang mengajarkan pelajaran ini, baik secara halus maupun keras. Kepada diri saya sendiri, saya titip pesan: percaya boleh, menulis lebih boleh. Setiap baris kode, setiap keputusan arsitektur, setiap demo yang berhasil, semuanya layak dilindungi oleh kata-kata yang kita sepakati bersama. Karena pada akhirnya, produk yang baik berdiri di atas dua tiang: hubungan antarmanusia yang sehat dan kesepakatan yang jelas. Jika salah satunya rapuh, yang lain cepat ikut goyah. Jika keduanya kokoh, apa pun yang kita bangun, entah tumbuh sesuai rencana atau berbelok mengikuti realitas, akan tetap meninggalkan kebaikan: pada produk, pada tim, dan pada diri kita sendiri.
Disclaimer singkat: tulisan ini adalah pengalaman dan opini pribadi, bukan nasihat hukum. Untuk keputusan penting, pertimbangkan berdiskusi dengan konsultan atau penasihat hukum yang kompeten.